SELAMAT DATANG DI EMBUNG KEMUGE

selamat datang di embung kemuge

Jumat, 15 Oktober 2010

OPINI: Retorika Penanggulangan Kemiskinan Oleh : Paulus Mujiran, S.sos, Msi | 16-Okt-2010, 00:09:09 WIB

Retorika Penanggulangan Kemiskinan
Oleh : Paulus Mujiran, S.sos, Msi | 16-Okt-2010, 00:09:09 WIB
KabarIndonesia - Negara Indonesia berhadapan dengan persoalan kemiskinan yang amat kompleks. Karena itu tidaklah mengherankan mendesain program penanggulangan kemiskinan bukanlah persoalan sederhana. Menurut Profesor David T. Ellwood, Dekan Harvard Kennedy School diperlukan empat syarat dalam mengatasi kemiskinan, antara lain: ekonomi kuat, keunggulan komparatif jangka panjang, kelembagaan pemerintahan yang kuat dan efektif, serta program bagi kaum miskin (Kompas, 15/9).

Harus diakui, selama ini dalam penanggulangan kemiskinan kita terjebak dalam program temporer, karitatif sehingga cenderung berumur pendek selain menciptakan ketergantungan di kalangan warga miskin. Ironisnya, banyak program penanggulangan kemiskinan dirancang secara sepihak (top down) tanpa melibatkan masyarakat miskin sebagai subyek. Begitupun karena kemiskinan merupakan komoditas politik yang seksi, cara penanggulangannya pun cenderung instan, yang penting memberikan kontribusi pada angka-angka statistik.

Pengalaman lapangan menjadi bukti bahwa program tidak berjalan efektif karena kekeliruan mengenali siapa sesungguhnya orang miskin dan kemiskinan. Aspek pertama, siapa sebenarnya orang miskin tidak pernah dipahami dengan benar. Akibatnya orang miskin sekedar dipandang sebagai benda-benda pasif yang dijadikan obyek atau sasaran program. Padahal mereka memiliki serangkaian karakter dan kebutuhan yang harus dipahami, diketahui sebelum menjalankan pengimplementasian program kemiskinan berbasis masyarakat. Bukti menunjukkan satu dua kali sosialisasi ternyata belum cukup menjelaskan maksud dan tujuan program.

Bagi orang miskin, bantuan yang bersifat stimulan seperti bantuan langsung tunai (BLT) adalah dukungan untuk konsumsi. Begitupun bantuan yang bersifat permodalan pada akhirnya juga hanya akan habis dikonsumsi karena tidak ada pengetahuan dan keterampilan memadai dalam memutar roda usaha. Begitupun program yang diulang-ulang dengan subyek yang sama hanya akan menimbulkan resistensi di kalangan warga miskin. Demikian halnya dalam memandang kemiskinan sebagai faktor tunggal terbukti sangat tidak mujarab dalam mengatasi kemiskinan.

Salah dalam memahami kemiskinan sebagai faktor tunggal misalnya tercermin kegiatan pemberdayaan masyarakat identik dengan bantuan modal bagi warga miskin. Dengan memberi modal seolah-olah menjadi kegiatan yang memberdayakan masyarakat. Padahal, modal tanpa keahlian dan keterampilan hanya akan menjadi beban bagi warga miskin. Selain kelak hanya akan menjelma menjadi pemenuhan kebutuhan konsumtif, juga menjadi beban bagi warga miskin karena harus mengembalikan modal dan bunga yang diterimanya.

Pemberian modal yang cenderung seragam seringkali menimbulkan keseragaman usaha. Yang satu berjualan pisang goreng dan laris manis, maka akan ditiru sebelahnya demikian seterusnya sehinggga seluruh kampung berjualan pisang goreng. Demikian juga usaha yang menghasilkan produk selalu terkendala lemahnya daya saing dan pasar. Sia-sia saja mengajari orang miskin membuat sebuah produk ketika pintu pasar dan persaingan tidak pernah dibuka. Produk hasil usaha orang miskin tanpa perlakuan khusus pasti kalah bersaing karena kualitas produk lebih rendah daripada produk industri.

Penulis pernah punya pengalaman mengajari anak jalanan kursus stir mobil sampai mendapatkan surat ijin mengemudi (SIM). Namun tidak pernah ada pengusaha angkutan kota yang mau mempekerjakan mereka karena semata-mata bekas anak jalanan dengan segala stigmanya. Apalagi di sisi yang lain pemerintah membiarkan tumbuh secara membabi-buta minimarket bahkan sampai ke pelosok pedesaan. Meminjam Bagong Suyanto (2010) bagaimana warung kecil mampu bertahan hidup kalau di sekitarnya dibiarkan dengan bebas tumbuhnya minimarket modern yang memberi senyuman ramah, penerangan memadai dan produk yang lebih bersih?

Harus diakui, selama ini program penanggulangan kemiskinan Indonesia hanya pada peningkatan produksi namun gagal membangun kesejahteraan masyarakat. Paket-paket bantuan modal, dukungan peralatan dan teknologi memang didesain untuk memicu peningkatan kesejahteraan tetapi tidak untuk si miskin melainkan untuk pasar orang lain. Celakanya, program pemerintah ini malahan seringkali merusak keswadayaan lokal dan budaya setempat. Program bantuan langsung tunai (BLT) misalnya merusak semangat gotong royong dan kerja keras masyarakat miskin, tidak mendidik dan tidak menciptakan ketergantungan.

Profesor Ellwood juga menyinggung soal kelembagaan pemerintahan yang kuat dan efektif yang menjadi pertanyaan masihkah ada orang yang peduli pada pengentasan kemiskinan. Tengok saja berapa triliun dana yang hendak dihabiskan untuk membangun gedung baru DPR, berapa miliar dana digunakan studi banding. Juga dana miliaran yang digunakan untuk pilkada maupun pemilu. Masa jabatan yang pendek cenderung menjebak para pemimpin hanya membuat program populis agar terpilih kembali pada masa jabatan berikutnya.

Tampaknya Indonesia dengan masalah kemiskinan yang kronis dan kompleks membutuhkan lembaga superbodi – seperti KPK dalam pemberantasan korupsi yang mampu memaksa kementerian dari pusat hingga daerah mengalokasikan dana-dana yang memadai untuk mengatasi kemiskinan. Sepanjang kemiskinan hanya dijadikan komoditas dan permainan angka-angka, maka sejauh itu juga derita rakyat miskin masih akan terjadi. Sayangnya, ratapan dan derita rakyat miskin justru tidak dijadikan dasar dalam merencanakan program-program penanggulangan kemiskinan.

Jika ada kemauan elit politik negeri ini sebagaimana para pendiri bangsa memerdekakan Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan, dampaknya segera dapat dirasakan. (*)


Penulis: Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Sosial di Semarang

Sumber foto ilustrasi: Fotosearch.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar