SELAMAT DATANG DI EMBUNG KEMUGE

selamat datang di embung kemuge

Selasa, 19 Oktober 2010

Buruh Berjas Putih, 1 dari 2 Kompasianer menilai Menarik.

Sewaktu saya jadi koasisten dulu, paling tidak 1x dalam 2 bulan saya dikirim ke luar kota untuk magang di rumah sakit daerah. Biasanya sebelum berangkat, petugas tata usaha akan memberikan surat pengantar yang harus kami serahkan pada direktur rumah sakit tujuan dan kepala bagian sebagai bentuk pemberitauan dan kulo nuwun bahwa kami akan menyusahkan aparat setempat untuk sekian waktu. Semuanya berjalan biasa2 saja sampai ketika saya jadi koasisten di bagian YY. Waktu itu bukan hanya satu, tapi masing2 kami dibekali dengan dua surat. “Yang ini pengantar untuk kalian,” Kata si petugas, “Dan yang ini, untuk konsulen di sana. Jangan dibuka.” Lalu ia menambahkan dengan penekanan pada setiap suku kata plus mimik serius dan tatapan yang cenderung mengancam: ”RA-HA-SIA.”

Saya dan teman2 menerima surat itu dengan dada berdebar2. Sebelumnya sudah beredar gosip mengenai perubahan sistem ujian dan pemberian nilai—jadi, dengan kecurigaan dan kegairahan yang besar (sampai liur menetes2)—kami mengerubungi surat RA-HA-SIA itu. Sesudah diadakan konfrensi meja bundar yang melibatkan sepiring bakwan dan 5 bungkus kerupuk, kami memutuskan untuk melakukan tindakan kriminal. Maka, dibentuklah tim yang terdiri dari orang2 dengan kecerdasan luar bisa dan standar moral di bawah rata2 untuk membuka surat tertutup itu tanpa jejak. Ketika berhasil, kami beramai2 membacanya sambil menahan nafas. Bunyinya begini:

Yang Terhormat Teman Sejawat,
TS kita, dr.XXX, SpYY saat ini sedang menghadapi masalah finansial. Beliau terserang penyakit sehingga tidak bisa bekerja, sekaligus sedang terlilit hutang yang sangat besar. Agar harta benda beliau tidak disita dan beliau sendiri tidak dimasukkan ke dalam penjara, kami menghimbau agar kiranya TS sekalian memberikan sumbangan untuk beliau. Sumbangan tersebut harap dikirim ke nomor rekening______atas nama_______.

Demikian, terima kasih.
Wah, ini sih di luar ekspektasi kami. Tapi meskipun begitu, kami cukup antusias dengan topik ini. Paling tidak hingga 3 jam ke depan, kami sibuk membahas mengenai siapa dr.XXX, SpYY ini, di mana dia berada sekarang dan apa kira2 penyebab kebangkrutan dalam hidupnya.

Sesudah kehebohan itu, saya segera melupakan masalah ini dan melanjutkan kehidupan saya. Saya lulus, jadi dokter, berpindah2 kota dan sibuk bekerja. Begitu seterusnya sampai suatu hari, saya terbangun dan merasa harus memikirkan dengan serius keadaan saya. Saat itu saya sudah bekerja lebih dari 1 tahun; jadwal saya padat—saya bekerja di klinik 24 jam hampir 5 hari dalam seminggu dan harus mengitari bogor hingga jakarta akibat jauhnya jarak antara masing2 tempat kerja.
Pagi itu saya sakit tenggorokan, kepala terasa ringan dan yang paling parah: saya merasa sungguh kesepian. Untuk lajang berumur 25 tahun, saya mapan; punya banyak uang dan tabungan; cukup terhormat secara strata sosial—meski kenyataannya, saya tidak punya kehidupan sosial. Saya terasing—sibuk dengan pekerjaan saya; hanya berinteraksi dengan pasien dan rekan kerja (meski seminggu sekali akan menelpon orang tua saya) dan seringkali secara iseng menyanyikan lagu Serius Band: ”Kapan ku punya pacarrrrrr….. Kapan ku punya pacarrrrrrrrrrrrrr…”
Saya pun tiba pada kesadaran yang lain: saya ini cuma buruh. Buruh berjas putih. Saya akan dibayar jika bekerja. Jika saya sakit atau memutuskan cuti, tidak akan ada uang untuk saya. Tapi sampai kapan saya sanggup bekerja?

Saya ingat dosen2 saya dulu. Pagi di rumah sakit umum, siang mengajar, sore hingga malam praktek swasta. Kaya mereka? Ya kaya. Tapi saya ingat guratan lelah di wajahnya, kantung mata yang agak menghitam dan melotot mirip ikan mas koi yang ceroboh memakai kosmetika—thus, yang paling jelek; kontrol emosi yang payah sehingga entah sengaja atau memang sengaja, mereka menggunakan mahasiswa untuk tumpah ruah kekesalannya. Sampai sekarang saya masih heran membayangkan kapan mereka istirahat, kapan punya waktu bercengkrama dengan keluarga, tetangga, membaca buku, ikut pengajian, rekreasi atau kegiatan memperkaya jiwa lainnya. Saya tau beberapa yagn suka hura-hura, atau membuat huru hara, tapi ah, mosok hidup koyo ngono… Mesa’ke…
Keadaan mereka dan saya sama. Kami dibayar perpasien. Makin banyak pasien yang datang, makin banyak kami dapat uang. Kalau tidak ya tidak. Dan jeleknya lagi, tanpa sadar kami berdoa agar semakin banyak pasien di dunia–yang berarti; bakal banyak orang yang sakit di negara kita.

Padahal kawan, kata seseorang (Robert Kiyosaki bukan ya?), hidup ini mirip balapan marmut. Kita sibuk berlari di dalam roda tanpa menyadari kita tidak sampai kemana2. Setiap hari kita menghasilkan banyak uang dan berfikir kita akan kaya. Tapi setiap kali kita makin kaya, berubah juga pola konsumsi kita. Gaya hidup makin tinggi dan makin banyak barang yang harus dimiliki. Akhirnya, kita akan semakin sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan kita yang sudah berubah tadi. Sampai suatu hari kita jatuh sakit, jadi tua, atau mendengar nasib buruk orang lain di media massa (atau melalui noted saya)—kita baru tersadar; kita hanya berada jika kita bekerja.

Saya melihat jalan satu2nya untuk masalah ini adalah berinvestasi atau ikut asuransi. Tanamkan uang dan biarkan uang itu yang bekerja sementara kita hanya mengawasi. Susahkah itu? Ya susah. Beresiko lagi. Maka sampai sekarang, saya masih maju mundur untuk memulainya. Selain karena harus matang persiapannya, kuat mentalnya, saya juga belum berhasil mengumpulkan modalnya. Tapi saya tau saya akan melangkah ke sana; jadi pengusaha. Dengan begitu saya berharap bisa berhenti jadi buruh berjas putih; tidak punya visi menguras kantong pasien; hidup damai dan bahagia; punya waktu untuk suami dan anak2 saya dan Anda semua tidak khawatir menerima surat yang berisi himbauan untuk memberikan sumbangan kepada saya nantinya.

Eh, tapi saya lagi butuh modal ni! Itu usul yang baik juga… Bagaimana kalau saya sebarkan nomor rekening saya? Ide bagus bukan? Hmmm? Hmmm?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar