SELAMAT DATANG DI EMBUNG KEMUGE

selamat datang di embung kemuge

Minggu, 03 Oktober 2010

Calon Bupati Dogiyai dan Ekonomi Kerakyatan (Belajar dari Para Pemimpin Pro-Rakyat)


Print E-mail
Written by Yakobus Odiyaipai Dumupa   
Oleh: Yakobus Odiyaipai Dumupa
 
DEWASA ini, lima orang presiden di empat negara menjadi idola kebanyakan orang di belahan bumi mana saja. Mereka adalah dua bersaudara Videl Castro, yang kemudian digantikan oleh adiknya Raul Castro (Presiden Kuba), Evo Morales (Presiden Bolivia), Hugo Chaves (Presiden Venezuela), dan Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Iran). Ketenaran lima “Presiden Radikal” ini mematahkan nama besar presiden mana saja, termasuk para presiden Amerika Serikat, yang seringkali menjadi idola dunia, dan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang diidolakan oleh sebagian besar rakyatnya.

Dari kelima presiden itu, Castro adalah presiden yang merebut kekuasaan di Kuba lewat revolusi bersenjata yang menumbangkan rezim Batista pada tahun 1959. Sementara keempat presiden lainnya mulai berkuasa pada dua dekade terakhir ini. Castro bersaudara, Morales dan Chaves adalah penguasa dari negara-negara di Karibia (Amerika Tengah) dan atau Amerika Latin (Selatan). Mereka mengusung ideologi Sosialisme dalam memimpin negaranya. Sedangkan, Ahmadinejad berasal dari Asia Selatan (semenanjung Arab), mengusung ideologi Revolusi Islam dalam menjalankan pemerintahan yang dipimpinnya.
Apa yang mendorong kelimanya menjadi presiden yang populer dibandingkan dengan dua ratusan lebih pemimpin negara di dunia? Apa keistimewaan kelima presiden tersebut?

Mengulas “kehebatan” kelima presiden tersebut sangat tidak cukup dalam ulasan singkat ini. Tapi, sekedar menyebutkan kehebatannya: mereka menasionalisasikan semua perusahaan asing di negaranya, menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan, menyediakan makanan yang secukupnya bagi rakyat miskin, menyediakan perumahaan bagi rakyatnya, mampu menentang kekuatan dominatif Amerika Serikat di negaranya, dan masih banyak lagi.

Dari sekian banyak prestasinya, yang diulas di sini adalah prestasi mereka di bidang ekonomi, mulai dari ideologi yang mereka anut yang menjadi pijakan pembangunan, hingga realisasi kebijakan-kebijakan ekonomi bagi rakyatnya (ekonomi rakyat).
Kuba, Bolivia dan Venezuela telah menyatakan ketegasannya menyangkut ideologi yang mereka pilih bagi pembangunan bangsanya, yaitu Sosialisme. Ideologi ini dinilai sebagai kontra dari ideologi Kapitalisme yang mereka nilai dominatif-eksploitatif yang merugikan negara miskin. Sementara Iran memegang ideologi Revolusi Islam yang dilakukan oleh Imam Khomeini. Ideologi inipun mempunyai jiwa yang hampir sama dengan Sosialisme, yaitu bentuk ideologi alternatif untuk membendung gempuran ideologi Kapitalisme yang dikampanyekan oleh Amerika Serikat dan sekutu sealiran ideologinya.

Bagi Sosialisme maupun Revolusi Islam, dalam bidang ekonomi, keduanya menempatkan rakyat sebagai pemilik “kedaulatan ekonomi” secara kolektif. Artinya, semua potensi ekonomi yang ada di negaranya diperuntukkan untuk kepentingan rakyatnya secara koletif, dimana setia warga negara harus menikmati potensi ekonomi itu secara adil dan merata. Ini merupakan paradigma terbalik dari Kapitalisme yang menempatkan individu sebagai pemilik dan penguasa modal; dimana setiap orang boleh saja menguasai modal atas nama pribadi, sekalipun harus mengorbankan orang (pribadi) lain. Singkatnya, Sosialisme dan Revolusi Islam mengagungkan “nasib bersama”, sementara Kapitalisme mengagungkan “nasib pribadi”.
Sebagai negara-negara yang memperjuangkan kepentingan ekonomi secara kolektif, maka semua potensi ekonomi sudah jelas dikuasai oleh negara. Faktor-faktor produksi dikuasai oleh negara dan dikerjakan oleh rakyatnya untuk digunakan secara bersama untuk merek sendiri.

Sebagai contoh adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Castro melakukan nasionalisasi perusahaan tebu (gula) dan property. Morales, Chaves dan Ahmadinejad melakukan nasionalisasi perusahaan minyak. Perusahaan tebu maupun minyak yang selama ini dikuasai oleh negara asing, misalnya Amerika Serikat, disita kembali oleh negara. Perusahaan-perusahaan tersebut boleh beroperasi, tapi dengan syarat negara harus mendapatkan bagian terbesar dari penghasilannya. Di Bolivia misalnya, negara mendapatkan 80 persen, sementara perusahaan asing hanya 20 persen.

Selain itu, tanah yang selama ini dikuasai oleh para tengkulak tanah diambil kembali oleh negara dan dibagi secara rata kepada petani-petani miskin yang tidak memiliki tanah. Di Kuba, beberapa saat setelah Castro berkuasa ia mengeluarkan Undang-undang Reformasi Agraria, dimana tanah-tanah yang luasnya lebih dari 460 hektar dibagi-bagi untuk koperasi bagi para petani yang selama ini tak mempunyai tanah karena tanahnya dirampas oleh para tengkulak tanah. Begitu juga dengan Morales dan Chaves, beberapa saat setelah berkuasa, mereka membuat kebijakan untuk menyerahkan tanah kepada rakyatnya untuk dapat mengelolanya demi kepentingannya.
Di Iran, Ahmadinejad menyediakan rumah layak huni bagi rakyatnya. Ia mengambil kebijakan yang populis dengan menyediakan keuangan yang cukup bagi pembangunan perumahan rakyat. Akibatnya, hampir semua keluarga di Iran memiliki rumah yang layak huni (sehat). Hal serupa juga dilakukan Castro bersaudara, Morales dan Chaves. 

Tak ketinggalan menarik adalah penyediaan makanan bagi orang-orang miskin di negara mereka. Misalnya, pemberian sub bagi orang miskin tiap pagi hari di Iran dan pemberian makanan bagi para pelajar di sekolah di Bolivia. Tak ketinggalan di Kuba dan Venezuela, Castro dan Chaves mengusahakan jaminan makanan dan minuman yang cukup bagi warga negaranya. Makanya, di keempat negara itu tidak ada “busung kapar” seperti yang menimpa negara Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam ini. 

Jika ditinjau lebih dalam, penerapan kebijakan ekonomi di keempat negara boleh dikatakan –apa yang disebut di Indonesia– sebagai “ekonomi rakyat”. Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang sangat getol memperjuangkan penerapan ekonomi rakyat. Sebut saja namanya seperti Bung Hatta, Adi Sasono, Sritua Arif, Revrison Baswir, Faisal Basri dan sederetan nama lainnya. Namun, cita-cita dan perjuangan mereka kandas lantaran semua pemimpin negara dan bawahannya kencanduan dengan “ekonomi Kapitalisme”. 

Dalam situasi Indonesia yang dependent (tergantung) kepada negara-negara Kapitalis, harapan agar rakyatnya bisa sejahtera dan makmur sangat jauh dari harapan. Maklum, dalam sistem Kapitalisme –sebagaimana yang sedang diterapkan di Indonesia– yang didewakan adalah modal. Dalam kondisi demikian, manusia hanya dianggap sebagai “alat produksi” yang “hasil produksi”-nya dibawa lari oleh negara-negara Kapitalis.

PT Freeport Indonesia adalah contoh yang paling dekat dan paling “menakutkan”. Perusahaan milik Amerika Serikat yang mempunyai rekanan bisnis dengan negara Kapitalis lainnya ini tidak memberikan kesejahteraan apa-apa kepada negara Indonesia. Lebih parahnya, masyarakat asli –yang oleh Freeport diberi nama “Tujuh Suku” – sama sekali tidak menikmati apa-apa.
Imbas tercokolnya Kapitalisme di Indonesia, menular juga ke seluruh penjuru negeri. Tak terkecuali ke Papua. Imbas itu jugalah yang sering merasuk masuk sampai ke dalam sistem pemerintahan sebagai “rekanan paling setia” dalam perkembangan Kapitalisme.
Marilah kita relevansikan “ekonomi rakyat” keempat presiden tadi dengan kemungkinan penerapan Ekonomi Kerakyatan oleh para calon bupati Dogiyai.

Di Indonesia dan negara berkembang lainnya, ajang pemilihan bupati/walikota maupun pejabatat negara lain sering dijadikan sebagai kesempatan “konsolidasi penguasa dan pengusaha”. Biasanya para pengusaha melakukan pendekatan dengan menjanjikan uang kampanye dan sejenisnya. Secara tidak langsung, dalam kondisi demikian biasanya para pengusaha dan calon penguasa terikat dengan kontrak “saling melindungi”. Pengusaha memberikan uang kampanye, sebaliknya calon penguasa jika terpilih harus melindungi usahanya.
Dalam situasi demikian, sangat tidak memungkinkan berkembangnya Ekonomi Kerakyatan. Yang paling mungkin berkembang adalah “ekonomi Kapitalisme” yang menguntungkan beberapa pihak saja (pribadi).
Saya sendiri belum bisa menyimpulkan calon Bupati Dogiyai siapa yang akan mengusung ”Ekonomi Kerakyatan”. Paling tidak, para calon tersebut pertama-tama harus mempunyai nyali untuk menyatakan No pada sistem ekonomi Kapitalisme, dan Yes pada sistem Ekonomi Kerakyatan. Kemudian, mereka harus memaparkan program-program yang populis dan merakyat. Diantaranya adalah jaminan kesetaraan akses ekonomi bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Dogiyai tanpa kecuali, pengelolaan aset ekonomi oleh rakyat sendiri, pemberantasan korupsi dan manipulasi kekuasaan, dan kebijakan lainnya yang pro-rakyat.
Jika para calon Bupati Dogiyai melanjutkan kebijakan-kebijakan ekonomi sebagaimana sedang dijalankan selama ini di Papua, maka itu sama saja “baku tipu”. Buktinya, selama ini hampir semua bupati/walikota di Papua jelas-jelas orang Papua, tetapi sama sekali belum ada kebijakan ekonomi yang pro-rakyat yang mereka lakukan. Yang nampak justru korupsi yang merajalela, pengelolaan aset perekonomian oleh beberapa orang saja, pengangguran terus meningkat, kehidupan sosial semakin memburuk, dan lainnya. Inilah indikasi merasuknya sistem Ekonomi Kapitalisme dalam urat nadi pemerintahan di semua kabupaten/kotamadya di Papua.

Para calon Bupati Dogiyai juga harus mempunyai kemampuan. Kemampuan bukan dalam arti tingkat pendidikan dan gelar kesarjanaan semata, tetapi dalam arti mempunyai hati nurani dan kepekaan terhadap kehidupan rakyat kecil dalam mengelola semua aset ekonomi yang ada di Dogiyai. Coba bayangkan, Presiden Bolivia, Morales adalah seorang yang putus sekolah di SMA kelas dua, tetapi dengan kemampuan hati nurani dan kepekaan terhadap kebutuhan rakyat Bolivia, kini ia menjadi presiden yang sangat sukses dengan kebijakan “Ekonomi Kerakyatan”.
Masyarakat Dogiyai juga mestinya “tidak buta” dalam menentukan pilihannya. Saya yakin masyarakat kini telah dewasa dalam berpolitik, mereka telah belajar dari –meminjam istilah Morales– “universitas kehidupan” untuk menentukan pilihan politiknya. Masyarakat harus belajar dari pengalaman hidup dan kepemimpinan para calon Bupati Dogiyai selama ini, dan memilah-milah program ekonomi mana yang lebih pro-rakyat.

Akhirnya, para calon Bupati Dogiyai harus mempunyai kemampuan hati nurani dan kepekaaan terhadap kehidupan rakyat. Mereka harus memilih program Ekonomi Kerakyatan yang benar-benar merakyat. Mereka juga mestinya belajar dari “lima pahlawan” Ekonomi Kerakyatan: Castro bersaudara, Morales, Chaves, dan Ahmadinejad yang sungguh mengagumkan itu. Maka, tidak heran, kelimanya dijuluki oleh Eko Prasetyo, penulis buku Inilah Presiden Radikal (Resist, 2006) sebagai “manusia yang dicetak khusus oleh Tuhan.” 

Semoga ada calon Bupati Dogiyai yang “dicetak khusus oleh Tuhan” juga! Let’s wait them! (Penulis adalah peneliti dan penulis buku, tinggal di Port Moresby, PNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar