| Perkembangan politik menjelang Pilkada di Kabupaten Dogiyai sudah mulai memanas. Banyak kandidat sudah muncul dan sudah mulai pasang kuda-kuda sejak jauh-jauh hari. Ada kandidat yang sudah punya partai dan ada kandidat lain yang masih mencari-cari perahu yang bisa mengantar mereka sampai lolos verifikasi. Ada kandidat lain pula yang sedang kewalahan karena ada indikasi dualisme. Kelompok dualisme ini terjadi lantaran ada kandidat lain ikut “merampas” partainya walaupun kandidat tersebut sudah memiliki perahu lebih dari 15% sesuai syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 49 Tahun 2008.
Diantara hiruk pikuk politik yang serba rumit dan memanas itu, muncul pula kandidat dari kalangan muda. Diantaranya sebut saja, Jack O Dumapa dari kalangan intelektual muda, Hubertus Makai dari kalangan birokrat muda, Alexander Auwe dari kalangan swasta, Engelbertus Pr Degey dari kalangan pers serta Yance Agapa dan Sisilia Mote dari kalangan pejabat generasi muda. Semua kandidat yang telah disebutkan diatas ini memiliki kemampuan dan intelektualitas sesuai latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya. Tetapi apakah mereka sudah panya partai yang bisa mengantar mereka menuju kursi singgasana bupati Dogiyai. Ini masalahnya. Sementara kandidat muda yang memiliki partai bermunculan nama seperti pasangan Vincensius Tebay dan Frans Magai sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati dan juga Yulianus Boga sebagai salah satu calon kandidat wakil bupati. Hampir semua partai sudah dibooking oleh kandidat tertentu. Tetapi namanya juga booking. Belum sepenuhnya semua partai menyerahkan partainya untuk mengusung kandidat yang sudah dibooking. Setiap partai akan kembali kepada aturan AD ART dalam menentukan kandidat siapa yang akan diusung sesuai hasil suvey masing-masing partai. Sementara proses lobby masih terus berlanjut ditingkat politikus, rakyat disana, dikampung-kampung Dogiyai sudah mulai punya bayangan-bayangan sesuai survey versi mereka sendiri. Kira-kira kandidat siapa yang akan diusung. Apakah kandidat tersebut mewakili daerahnya atau tidak, mewakili agamanya atau tidak, iparnya atau tidak, moyang beda atau tidak dan seterusnya. Mereka disana tidak akan survey dari sisi kemampuan memimpin dari si kandidat atau tidak. Misalnya kandidat ini terlalu muda untuk memimpin sekian banyak pejabat dan rakyat, dan justru sebaliknya mereka bersyukur ada kalangan muda yang muncul dari poros tengah. Bagi rakyat disana, entah dimanapun, kemenangan Isaias dan Mesak adalah sebuah contoh besar. Bahwa predikat pribadi yang sering ditendenskan kalangan tertentu dalam rangka menjatuhkan wibawa dan nama baik kandidat lain itu tidak berlaku. Pada saat pertandingan berlangsung, emosi kedaerahan akan muncul lebih kencang dari pada prasyarat lain yang sering dibuat sendiri oleh kalangan tertentu yang merasa lebih mampu dan kredibel. Diantara bayang-bayang pikiran yang berhembus lebih keras ini, rakyat Dogiyai - terutama wakil rakyat kita yang punya partai sekarang, juga jangan lupa terhadap tokoh-tokoh intelektual Dogiyai yang memiliki kemampuan lebih besar tetapi tidak pernah angkat-angkat diri. Mereka lebih memilih diam dan menontong saja dari jarak yang jauh, walaupun tidak terlalu jauh. Bisa saja kelompok ini ingin mengajarkan etika politik yang wajar tidak seperti sejumlah kandidat yang jual diri seenaknya saja. Mereka semacam tidak pernah dipanggil oleh pembangunan untuk berdialog, diskusi, bagaimana menyatukan visi dan misi membangun Dogiyai tercinta secara bersama-sama. Mereka yang dimaksud adalah Drs Thedy Kedeikoto Msi, Drs Paul Boby, Ir Didimus Tebay, Ambrosius Degey SH, Pater Dr Nelles Tebay, Pr, Didimus Mote, SH Msi, Paul Petege, ST Msi dan lain sebagainya. Dus apa yang kita harapkan dari perebutan kursi nomor satu di Dogiyai? Yang jelas, arus gengsian local antar beberapa sub suku sudah mulai nampak jelas. Kelompok yang merasa lebih super menindis yang mereka yang minoritas. Kelompok yang memiliki partai akan menghalalkan kebenaran-kebenaran demokrasi yang harus ia wakili dan salurkan dalam bentuk yang nyata dalam medium pilkada. Disana hanyalah nampak duit dan duit. Walaupun anda mampu, tapi bila tidak punya duit, tunggu dulu. Tidak ada makan siang gratis di rumah-rumah partai. Padahal partai adalah rumah dari sekian ribu rakyat yang ia wakili, tetapi disana sekarang bukan rumah wakil rakyat lagi, tetapi rumahnya kaum elit yang berduit. Situasi seperti ini pernah terjadi pada saat pemilihan Gubernur Provinsi Papua. Pada waktu itu PDIP belum menentukan sikap harus mengusung siapa. Tetapi ketika sejumlah kepala kampung datang di rumahnya Komarudin Watubun, ia pun kaget karena yang para kepala kampung minta yaitu agar Bas Suebu harus dipanggil pulang dari Mexico untuk pimpin Papua. Dan nyatanya benar. Dihampir semua kampung, suara Bas ada dan dia iapun terakhir menjadi Gubernur Provinsi Papua. Dogiyai tentu berbeda dengan tingkat Provinsi. Jangan sampai semua suara dari wilayah Kamuu dan Mapia “dorang” hitung dari ibu kota distrik lama. (engelbertus degey) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar